Bacillus merupakan bakteri Gram
positif, berbentuk batang, beberapa spesies bersifat aerob obligat dan bersifat
anaerobik fakultatif, dan memiliki endospora sebagai struktur bertahan saat
kondisi lingkungan tidak mendukung. Bentuk spora (endospora) Bacillus
bervariasi bergantung pada spesiesnya. Endospora ada yang lebih kecil dan ada
juga yang lebih besar dari pada diameter sel induknya. Pada umumnya sporulasi
terjadi bila keadaan medium memburuk, zat-zat yang timbul sebagai pertukaran
zat yang terakumulasi dan faktor luar lainnya yang merugikan. Bacillus
mempunyai sifat yang lebih menguntungkan daripada mikroorganisme lain karena
dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama pada kondisi lingkungan yang tidak
menguntungkan untuk pertumbuhannya. Spesies jenis Bacillus juga berbeda dalam sifat
pertumbuhannya. Beberapa bersifat mesofilik misalnya Bacillus subtilis yang
lainnya bersifat termofilik fakultatif misalnya Bacillus coagulans atau
termofilik pada Bacillus stearothermophilus sering menyebabkan kerusakan pada
makanan kaleng. Sebanyak 22 spesies Bacillus telah diidentifikasi diantaranya
banyak ditemukan pada makanan.
Beberapa
kelompok bakteri Bacillus menghasilkan metabolit sekunder yang dapat menekan
pertumbuhan patogen (Backman et al.,1994). Bacillus telah banyak diaplikasikan
pada benih untuk mencegah patogen tular tanah seperti Fusarium oxysporum,
Rhizoctonia solani, Botrytis cinera, Phytium sp. dan Sclerotium rolfsii (Baker
& Cook, 1974). Bacillus sp. - Berpotensi sebagai pemacu pertumbuhan tanaman
- Biokontrol fungi patogen akar Widyawati (2008). 2. Bacillus subtilis -
Sebagai agen pengendali hayati - Sebagai PGR (Plant Growth Promoting
Rhizobacteria) Sulistiani (2009). 3. Bacillus subtilis - Memiliki pengaruh
biofungisida terhadap serangan penyakit antraknosa pada cabai merah (Capsicum
annuum L.) Kusnadi et al. (2009). 3. Bacillus thuringinensis - Memproduksi
bioinsektisida pada media tapioka Salamah (2002). 4. Bacillus thuringinensis -
Memproduksi bioinsektisida pada media air kelapa Priatno (1999). 5. Bacillus
spp. - Pengahasil α- amilase ekstraseluler Widyasti (2003). 6. Bacillus
thermoglucosidasius AF-01 - Memproduksi parsial protease alkali Fuad et al.
(2004). 7. Bacillus licheniformis - Sebagai feed suplement terhadap pertumbuhan
ikan nila merah Haetami et al. (2008). 8. Bacillus sp. BK 17 - Mampu menghambat
jamur patogen Aspergillus sp. yang menginfeksi ikan nila (Oreochromis sp.)
Malau (2012). 9 Bacillus sp. BK 17 - Mampu menghambat layu Fussarium pada benih
cabe merah (Capsicum annuum L.) Indarwan (2011). 10 Bacillus thuringinensis var
aizawa IH-A - Penggunaan Bacillus thuringinensis sebagai bioinsektisida Sjamsuriputra
et al. (2002).
Bacillus Sebagai Agen Pengendali Hayati
Pengendalian hayati adalah proses pengurangan kepadatan inokulum atau aktivitas
patogen dalam menimbulkan penyakit yang berada dalam keadaan aktif maupun
dorman oleh satu atau lebih organisme baik secara aktif maupun dengan
manipulasi lingkungan dan inang, dengan menggunakan agens antagonis atau dengan
mengintroduksi satu atau lebih organisme antagonis (Baker & Cook, 1974).
Proses pengendalian hayati berjalan dengan lambat tetapi dapat berlangsung
dalam periode yang cukup panjang, relatif murah dan tidak berbahaya bagi
kehidupan. Agens antagonis adalah mikroorganisme yang dapat mempengaruhi
kemampuan bertahan atau berpengaruh negatif terhadap aktivitas patogen dalam
menimbulkan penyakit. Bahkan, agens antagonis dapat berasal dari strain patogen
avirulen yang dapat menghambat perkembangan patogen (Agrios, 1997).
Genus
Bacillus digunakan sebagai agen biokontrol secara luas, menghasilkan zat
antimikroba berupa bakteriosin. Bakteriosin adalah zat antimikroba polipeptida
atau protein yang diproduksi oleh mikroorganisme yang bersifat bakterisida.
Bakteriosin membunuh sel targetnya dengan menyisip pada membran target dan
mengakibatkan fungsi membran sel menjadi tidak stabil sehingga menyebabkan sel
lisis (Compant et al., 2005). Bacillus sp juga diketahui menghasilkan spora dan
enzim kitinase yang mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen yaitu
Aspergillus sp. 2 pada ikan nila (Oreachromis niloticus) secara in vivo maupun
in vitro (Malau, 2012). Bacillus juga menghasilkan enzim yang banyak digunakan
dalam industri diantaranya Widyasti (2003) melaporkan Bacillus spp. penghasil
enzim α-amilase yang banyak digunakan dalam industri untuk menghidrolisis
ikatan α-1,4 glikosidik pati, glikogen dan substrat sejenisnya. Fuad et al. (2004)
melaporkan Bacillus thermoglucosidasius AF-01 memproduksi parsial portease
alkali yang memiliki sifat proteolitik yang cukup tinggi banyak digunakan pada
industri detergen dan makananan.
Ketahanan
Spora Bacillus di Lingkungan Menurut Gaman & Sherrington (1981), spora
merupakan “ body “ yang kuat dan keras terbentuk pada beberapa jenis bakteri.
Waluyo (2007) ada dua tipe spora yang terbentuk, pertama terbentuk di dalam sel
disebut dengan endospora dan di luar sel disebut dengan eksospora. Irianto (2006)
resistensi endospora terhadap panas disebabkan oleh kadar air yang dikandungnya
dan pembungkus spora yang tebal. Waluyo (2007) endospora masih dapat bertahan
pada suhu air mendidih selama 20 jam. Naufalin (1999) mekanisme ketahanan spora
terhadap panas adalah senyawa peptidoglikan yang merupakan penyusun korteks
dengan struktur ikatan silang dan bersifat elektronegatif, berperan dalam
meningkatkan ketahanan spora terhadap panas dengan cara mengontrol kandungan
air di dalam protoplas yaitu mempertahankan kadar air yang rendah. Beberapa
faktor yang ikut mempengaruhi sifat polimer peptidoglikan juga ikut berperan
menurunkan ketahanan spora terhadap panas, misalnya adanya asam dan beberapa
kation multivalent. Salamah (2002) melaporkan pembentukan spora Bacillus
thuringiensis subsp. Israelensis dimulai pada jam ke-9 dimungkinkan karena
kondisi lingkungan yang kurang sesuai bagi sel yaitu pH ekstrim. (Lay, 1994)
mikroorganisme memiliki enzim yang berfungsi sempurna pada pH tertentu. Bila
terjadi perubahan pH, pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme dapat
berhenti. Waluyo (2007) bakteri dalam bentuk spora lebih tahan terhadap
kekeringan, panas, asam dan dingin karena dinding spora lebih bersifat
impermeabel dan spora mengandung sedikit air. Berdasarkan informasi ketahanan
spora terhadap lingkungan diperlukan bahan pembawa untuk mempertahankan
viabilitas isolat uji. Formulasi merupakan langkah awal di dalam usaha
pengendalian hayati yang dapat diusahakan secara komersial yang mampu menjaga
ketahanan spora terhadap lingkungan selama penyimpanan (Jones & Burges,
1998).
Bahan Pembawa Bahan pembawa merupakan bahan
yang dicampurkan dengan organisme dilengkapi dengan bahan tambahan untuk
memaksimalkan kemampuan bertahan hidup di penyimpanan disebut dengan formulasi.
Adapun fungsi dasar dari formulasi adalah untuk stabilisasi organisme selama
produksi, distribusi dan penyimpanan, mengubah aplikasi produk, melindungi agen
dari faktor lingkungan yang dapat menurunkan kemampuan bertahan hidupnya serta
meningkatkan aktivitas dari agen untuk mengendalikan organisme target.
Formulasi terdiri dari dua tipe, yaitu produk berbentuk padatan (tepung dan
butiran) serta berbentuk suspensi (berbahan dasar minyak atau air, dan emulsi)
(Jones & Burges, 1998).
Enkapsulasi
pada bakteri dapat memberikan kondisi yang mampu melindungi mikroba dari
pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan, seperti panas dan bahan kimia
(Young et al., 1995). Vladamir et al. (2002) enkapsulasi dalam ukuran kecil
memiliki beberapa keuntungan, antara lain melindungi suatu senyawa dari
penguraian dan mengendalikan pelepasan suatu senyawa aktif. Rizqiati et al.
(2008) melaporkan jenis bahan enkapsulasi yang berbeda akan mempengharui
viabilitas Lactobasillus plantarum setelah penyimpanan. Hasil analisis
statistik menunjukkan nilai viabilitas Lactobasillus plantarum setelah
penyimpanan untuk ketiga kombinasi jenis bahan enkapsulasi tidak berbeda nyata.
Pada kultur biomasa diperoleh nilai viabilitas pada penggunaan bahan
enkapsulasi susu skim 73,5%, susu skim-gum arab 72,5% dan gum arab 71, 5%.
Menurut
Master (1997) enkapsulasi dikatakan berhasil jika bahan yang dienkapsulasi
memiliki viabilitas sel yang baik dan sifat-sifat fisiologis yang relatif sama
dengan sebelum dan sesudah dienkapsulasi. Desmond et al. (2002) penggunaan
bahan untuk enkapsulasi perlu dipertimbangkan, karena masingmasing bahan
mempunyai karakter yang berbeda dan belum tentu cocok dengan bahan inti yang
akan dienkapsulasi. Adapun beberapa komposisi bahan pembawa digunakan yaitu: Talek
adalah mineral yang lunak dengan komposisi kimia (Mg3SiO10(OH)2) dan umumnya
sebagai mineral sekunder hasil hidrasi batuan yang mengandung magnesium,
seperti peridotit, gabro, dan dolomit. Talek dapat ditemukan dalam pasir dan
lumpur yang mempunyai ikatan kuat. Talek merupakan jenis tanah mineral yang
dominan berasosiasi dengan kaolinit dan gibsit. Stabilitas talek relatif
berbeda dengan mineral liat yang lain memiliki struktur halus, licin dan penghantar
panas tinggi (Dixon, 1989). Sulistiani (2009) melaporkan pengaruh interaksi
jenis formulasi dan lama penyimpanan formulasi spora B. subtilis memberikan
hasil yang beragam. Formulasi talek pada penyimpanan ke-6 mencapai panjang
optimum pada benih padi jika dibandingkan dengan formulasi lainnya. Hal ini
terjadi karena kombinasi perlakuan paling efektif jika menggunakan formulasi
talek dengan waktu aplikasi Universitas Sumatera Utara9 pada minggu ke-6 (9,76
cm). Selain jenis formulasi lama penyimpanan juga memberikan pengaruh terhadap
viabilitas spora.
Tapioka
Pati merupakan karbohidrat yang tersimpan dalam tanaman terutama tanaman
berklorofil. Banyaknya kandungan pati pada tanaman tergantung asal pati
tersebut. Pati telah lama digunakan sebagai bahan makanan maupun non-food
seperti perekat, dalam industri tekstil, polimer atau sebagai bahan tambahan
dalam sediaan farmasi. Penggunaan pati dalam bidang farmasi sebagai formula
sediaan tablet, baik sebagai bahan pengisi, penghancur maupun sebagai bahan
pengikat (Winarno, 1984). Tepung tapioka pada dasarnya merupakan pati dari
ketela pohon, dengan komposisi sebagai berikut: kalori (362 kal), karbohidrat
(86,9 g), protein (0,5 g), lemak (0,3 g), kalsium (20 mg), fosfor (7 mg), besi
(1,6 mg), kalium (11 mg), natrium (1 mg), magnesium (1 mg) dan air (12 g)
(Djali & Riswanto, 2001). Wijayanti (2010) melaporkan tepung tapioka
berpotensi sebagai campuran bahan pembawa natrium alginat pada pupuk biologis
yang dihasilkan melalui enkapsulasi.
Viabilitas
Azospirillum brasilense di dalam kapsul Ca-alginat dan di dalam formula bahan
pembawa (perbandingan konsentrasi antara natrium alginat dan tepung tapioka)
sangat baik. Viabilitas A. brasilense bertahan selama masa simpan. 2.4.4
Kitosan Kitosan tidak larut dalam air, tetapi larut dalam asam lemah encer
(misalnya, asam asetat 1% [v/v]). Kitosan memiliki struktur yang mirip dengan
selulosa, tetapi gugus hidroksil pada C-2 diganti dengan gugus amino. Senyawa
ini dapat diperoleh dari kulit udang dengan cara mendestilasi kitinnya (Timmy
et al.,2002) melaporkan kemampuan enkapsulasi sistem penyalutan ganda
alginat-kitosan lebih baik bila dibandingkan dengan gelatin. Enkapsulasi ibuprofen
dengan penyalut alginat-kitosan menghasilkan kapsul dengan diameter antara 1
dan 2 mm. Enkapsulasi tersebut memiliki nilai efisiensi >86% lebih tinggi
jika dibandingkan dengan penyalut gelatin nilai efesiensi 6,67% yang telah
dilakukan oleh peneliti lainnya. Konsentrasi kitosan menaikkan massa kapsul
akan tetapi, jumlah ibuprofen dan konsentrasi kitosan tidak berpengaruh
terhadap efesiensi enkapsulasinya melainkan faktor waktu penyimpanan larutan
alginat yang digunakan untuk pembuatan kapsul. 2.4.3 Tepung Jagung Jagung
mempunyai nilai gizi yang relatif cukup baik, mengandung protein 10%, lipid 4,4
% dan kandungan pati sekitar 72%. Kandungan asam amino lisin, triptopan, dan
isoleusin. Komposisi tepung jagung terdiri dari: kalori (355 kal); karbohidrat (73,7
g); protein (9,2 g); lemak (3,9 g); kalsium (7 mg); fosfor (256 mg); besi (2,4
mg); kalium (287 mg); natrium (35 mg); magnesium (127 mg); vitamin A (510 SI);
vitamin B1 (0,38 mg) dan air (12 g) (Mudjisihono & Munarsono, 1993).
Sulistiani
(2009) melaporkan viabilitas spora Bacillus subtilis dalam berbagai formulasi
dipengaruhi oleh jenis formulasi dan lama penyimpanan. Pengaruh jenis formulasi
spora B. subtilis menunjukkan hasil yang berbeda untuk setiap formulasi yang
digunakan. Formulasi tepung jagung memiliki nilai 6,92 cfu/g dalam mendukung
ketahanan hidup spora B. subtilis selama penyimpanan. Hal ini disebabkan karena
tepung jagung memilliki kandungan pati, gula, dan kadar air yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi bakteri. Namun tidak sebaik formulasi campuran
antara tepung jagung, tepung udang, zeolit dan dedak memiliki nilai tertinggi
7,77 cfu/g. Hal ini disebabkan adanya tepung udang yang berasal dari cangkang
udang memiliki kandungan protein yang cukup tinggi untuk mendukung viabilitas
spora B. subtilis selama penyimpanan.
Sumber
: http://repository.usu.ac.id/
Jual Dipan Rotan Sintetis
BalasHapusJual Basket Rotan Sintetis
Jual Keranjang Rotan Sintetis
Jual Keranjang Buah Rotan Sintetis
Jual Sofa Rotan Sintetik
Jual Kursi Rotan Sintetik
Jual Meja Rotan Sintetik
Jual Lounger Rotan Sintetik
Jual Ayunan Rotan Sintetik
Jual Daybed Rotan Sintetik
Jual Kursi Malas Rotan Sintetik
Jual Pot Rotan Sintetik
Jual Vas Rotan Sintetik
Jual Tempat Tidur Rotan Sintetik
Jual Dipan Rotan Sintetik
Jual Basket Rotan Sintetik
Jual Keranjang Rotan Sintetik
Jual Keranjang Buah Rotan Sintetik
Jual Sofa Rattan Synthetic
Jual Kursi Rattan Synthetic
Jual Meja Rattan Synthetic
Jual Lounger Rattan Synthetic
Jual Ayunan Rattan Synthetic
Jual Daybed Rattan Synthetic
Jual Kursi Malas Rattan Synthetic
www.agrotekno-lab.com
BalasHapusjual aneka culture mikroba
087731375234
www.agrotekno-lab.com
BalasHapusjual aneka culture mikroba
087731375234