Senin, 23 Februari 2015





Bacillus merupakan bakteri Gram positif, berbentuk batang, beberapa spesies bersifat aerob obligat dan bersifat anaerobik fakultatif, dan memiliki endospora sebagai struktur bertahan saat kondisi lingkungan tidak mendukung. Bentuk spora (endospora) Bacillus bervariasi bergantung pada spesiesnya. Endospora ada yang lebih kecil dan ada juga yang lebih besar dari pada diameter sel induknya. Pada umumnya sporulasi terjadi bila keadaan medium memburuk, zat-zat yang timbul sebagai pertukaran zat yang terakumulasi dan faktor luar lainnya yang merugikan. Bacillus mempunyai sifat yang lebih menguntungkan daripada mikroorganisme lain karena dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan untuk pertumbuhannya. Spesies  jenis Bacillus juga berbeda dalam sifat pertumbuhannya. Beberapa bersifat mesofilik misalnya Bacillus subtilis yang lainnya bersifat termofilik fakultatif misalnya Bacillus coagulans atau termofilik pada Bacillus stearothermophilus sering menyebabkan kerusakan pada makanan kaleng. Sebanyak 22 spesies Bacillus telah diidentifikasi diantaranya banyak ditemukan pada makanan.
Beberapa kelompok bakteri Bacillus menghasilkan metabolit sekunder yang dapat menekan pertumbuhan patogen (Backman et al.,1994). Bacillus telah banyak diaplikasikan pada benih untuk mencegah patogen tular tanah seperti Fusarium oxysporum, Rhizoctonia solani, Botrytis cinera, Phytium sp. dan Sclerotium rolfsii (Baker & Cook, 1974). Bacillus sp. - Berpotensi sebagai pemacu pertumbuhan tanaman - Biokontrol fungi patogen akar Widyawati (2008). 2. Bacillus subtilis - Sebagai agen pengendali hayati - Sebagai PGR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) Sulistiani (2009). 3. Bacillus subtilis - Memiliki pengaruh biofungisida terhadap serangan penyakit antraknosa pada cabai merah (Capsicum annuum L.) Kusnadi et al. (2009). 3. Bacillus thuringinensis - Memproduksi bioinsektisida pada media tapioka Salamah (2002). 4. Bacillus thuringinensis - Memproduksi bioinsektisida pada media air kelapa Priatno (1999). 5. Bacillus spp. - Pengahasil α- amilase ekstraseluler Widyasti (2003). 6. Bacillus thermoglucosidasius AF-01 - Memproduksi parsial protease alkali Fuad et al. (2004). 7. Bacillus licheniformis - Sebagai feed suplement terhadap pertumbuhan ikan nila merah Haetami et al. (2008). 8. Bacillus sp. BK 17 - Mampu menghambat jamur patogen Aspergillus sp. yang menginfeksi ikan nila (Oreochromis sp.) Malau (2012). 9 Bacillus sp. BK 17 - Mampu menghambat layu Fussarium pada benih cabe merah (Capsicum annuum L.) Indarwan (2011). 10 Bacillus thuringinensis var aizawa IH-A - Penggunaan Bacillus thuringinensis sebagai bioinsektisida Sjamsuriputra et al. (2002).
 Bacillus Sebagai Agen Pengendali Hayati Pengendalian hayati adalah proses pengurangan kepadatan inokulum atau aktivitas patogen dalam menimbulkan penyakit yang berada dalam keadaan aktif maupun dorman oleh satu atau lebih organisme baik secara aktif maupun dengan manipulasi lingkungan dan inang, dengan menggunakan agens antagonis atau dengan mengintroduksi satu atau lebih organisme antagonis (Baker & Cook, 1974). Proses pengendalian hayati berjalan dengan lambat tetapi dapat berlangsung dalam periode yang cukup panjang, relatif murah dan tidak berbahaya bagi kehidupan. Agens antagonis adalah mikroorganisme yang dapat mempengaruhi kemampuan bertahan atau berpengaruh negatif terhadap aktivitas patogen dalam menimbulkan penyakit. Bahkan, agens antagonis dapat berasal dari strain patogen avirulen yang dapat menghambat perkembangan patogen (Agrios, 1997).
Genus Bacillus digunakan sebagai agen biokontrol secara luas, menghasilkan zat antimikroba berupa bakteriosin. Bakteriosin adalah zat antimikroba polipeptida atau protein yang diproduksi oleh mikroorganisme yang bersifat bakterisida. Bakteriosin membunuh sel targetnya dengan menyisip pada membran target dan mengakibatkan fungsi membran sel menjadi tidak stabil sehingga menyebabkan sel lisis (Compant et al., 2005). Bacillus sp juga diketahui menghasilkan spora dan enzim kitinase yang mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen yaitu Aspergillus sp. 2 pada ikan nila (Oreachromis niloticus) secara in vivo maupun in vitro (Malau, 2012). Bacillus juga menghasilkan enzim yang banyak digunakan dalam industri diantaranya Widyasti (2003) melaporkan Bacillus spp. penghasil enzim α-amilase yang banyak digunakan dalam industri untuk menghidrolisis ikatan α-1,4 glikosidik pati, glikogen dan substrat sejenisnya. Fuad et al. (2004) melaporkan Bacillus thermoglucosidasius AF-01 memproduksi parsial portease alkali yang memiliki sifat proteolitik yang cukup tinggi banyak digunakan pada industri detergen dan makananan.
Ketahanan Spora Bacillus di Lingkungan Menurut Gaman & Sherrington (1981), spora merupakan “ body “ yang kuat dan keras terbentuk pada beberapa jenis bakteri. Waluyo (2007) ada dua tipe spora yang terbentuk, pertama terbentuk di dalam sel disebut dengan endospora dan di luar sel disebut dengan eksospora. Irianto (2006) resistensi endospora terhadap panas disebabkan oleh kadar air yang dikandungnya dan pembungkus spora yang tebal. Waluyo (2007) endospora masih dapat bertahan pada suhu air mendidih selama 20 jam. Naufalin (1999) mekanisme ketahanan spora terhadap panas adalah senyawa peptidoglikan yang merupakan penyusun korteks dengan struktur ikatan silang dan bersifat elektronegatif, berperan dalam meningkatkan ketahanan spora terhadap panas dengan cara mengontrol kandungan air di dalam protoplas yaitu mempertahankan kadar air yang rendah. Beberapa faktor yang ikut mempengaruhi sifat polimer peptidoglikan juga ikut berperan menurunkan ketahanan spora terhadap panas, misalnya adanya asam dan beberapa kation multivalent. Salamah (2002) melaporkan pembentukan spora Bacillus thuringiensis subsp. Israelensis dimulai pada jam ke-9 dimungkinkan karena kondisi lingkungan yang kurang sesuai bagi sel yaitu pH ekstrim. (Lay, 1994) mikroorganisme memiliki enzim yang berfungsi sempurna pada pH tertentu. Bila terjadi perubahan pH, pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme dapat berhenti. Waluyo (2007) bakteri dalam bentuk spora lebih tahan terhadap kekeringan, panas, asam dan dingin karena dinding spora lebih bersifat impermeabel dan spora mengandung sedikit air. Berdasarkan informasi ketahanan spora terhadap lingkungan diperlukan bahan pembawa untuk mempertahankan viabilitas isolat uji. Formulasi merupakan langkah awal di dalam usaha pengendalian hayati yang dapat diusahakan secara komersial yang mampu menjaga ketahanan spora terhadap lingkungan selama penyimpanan (Jones & Burges, 1998).
 Bahan Pembawa Bahan pembawa merupakan bahan yang dicampurkan dengan organisme dilengkapi dengan bahan tambahan untuk memaksimalkan kemampuan bertahan hidup di penyimpanan disebut dengan formulasi. Adapun fungsi dasar dari formulasi adalah untuk stabilisasi organisme selama produksi, distribusi dan penyimpanan, mengubah aplikasi produk, melindungi agen dari faktor lingkungan yang dapat menurunkan kemampuan bertahan hidupnya serta meningkatkan aktivitas dari agen untuk mengendalikan organisme target. Formulasi terdiri dari dua tipe, yaitu produk berbentuk padatan (tepung dan butiran) serta berbentuk suspensi (berbahan dasar minyak atau air, dan emulsi) (Jones & Burges, 1998).
Enkapsulasi pada bakteri dapat memberikan kondisi yang mampu melindungi mikroba dari pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan, seperti panas dan bahan kimia (Young et al., 1995). Vladamir et al. (2002) enkapsulasi dalam ukuran kecil memiliki beberapa keuntungan, antara lain melindungi suatu senyawa dari penguraian dan mengendalikan pelepasan suatu senyawa aktif. Rizqiati et al. (2008) melaporkan jenis bahan enkapsulasi yang berbeda akan mempengharui viabilitas Lactobasillus plantarum setelah penyimpanan. Hasil analisis statistik menunjukkan nilai viabilitas Lactobasillus plantarum setelah penyimpanan untuk ketiga kombinasi jenis bahan enkapsulasi tidak berbeda nyata. Pada kultur biomasa diperoleh nilai viabilitas pada penggunaan bahan enkapsulasi susu skim 73,5%, susu skim-gum arab 72,5% dan gum arab 71, 5%.
Menurut Master (1997) enkapsulasi dikatakan berhasil jika bahan yang dienkapsulasi memiliki viabilitas sel yang baik dan sifat-sifat fisiologis yang relatif sama dengan sebelum dan sesudah dienkapsulasi. Desmond et al. (2002) penggunaan bahan untuk enkapsulasi perlu dipertimbangkan, karena masingmasing bahan mempunyai karakter yang berbeda dan belum tentu cocok dengan bahan inti yang akan dienkapsulasi. Adapun beberapa komposisi bahan pembawa digunakan yaitu: Talek adalah mineral yang lunak dengan komposisi kimia (Mg3SiO10(OH)2) dan umumnya sebagai mineral sekunder hasil hidrasi batuan yang mengandung magnesium, seperti peridotit, gabro, dan dolomit. Talek dapat ditemukan dalam pasir dan lumpur yang mempunyai ikatan kuat. Talek merupakan jenis tanah mineral yang dominan berasosiasi dengan kaolinit dan gibsit. Stabilitas talek relatif berbeda dengan mineral liat yang lain memiliki struktur halus, licin dan penghantar panas tinggi (Dixon, 1989). Sulistiani (2009) melaporkan pengaruh interaksi jenis formulasi dan lama penyimpanan formulasi spora B. subtilis memberikan hasil yang beragam. Formulasi talek pada penyimpanan ke-6 mencapai panjang optimum pada benih padi jika dibandingkan dengan formulasi lainnya. Hal ini terjadi karena kombinasi perlakuan paling efektif jika menggunakan formulasi talek dengan waktu aplikasi Universitas Sumatera Utara9 pada minggu ke-6 (9,76 cm). Selain jenis formulasi lama penyimpanan juga memberikan pengaruh terhadap viabilitas spora.
Tapioka Pati merupakan karbohidrat yang tersimpan dalam tanaman terutama tanaman berklorofil. Banyaknya kandungan pati pada tanaman tergantung asal pati tersebut. Pati telah lama digunakan sebagai bahan makanan maupun non-food seperti perekat, dalam industri tekstil, polimer atau sebagai bahan tambahan dalam sediaan farmasi. Penggunaan pati dalam bidang farmasi sebagai formula sediaan tablet, baik sebagai bahan pengisi, penghancur maupun sebagai bahan pengikat (Winarno, 1984). Tepung tapioka pada dasarnya merupakan pati dari ketela pohon, dengan komposisi sebagai berikut: kalori (362 kal), karbohidrat (86,9 g), protein (0,5 g), lemak (0,3 g), kalsium (20 mg), fosfor (7 mg), besi (1,6 mg), kalium (11 mg), natrium (1 mg), magnesium (1 mg) dan air (12 g) (Djali & Riswanto, 2001). Wijayanti (2010) melaporkan tepung tapioka berpotensi sebagai campuran bahan pembawa natrium alginat pada pupuk biologis yang dihasilkan melalui enkapsulasi.
Viabilitas Azospirillum brasilense di dalam kapsul Ca-alginat dan di dalam formula bahan pembawa (perbandingan konsentrasi antara natrium alginat dan tepung tapioka) sangat baik. Viabilitas A. brasilense bertahan selama masa simpan. 2.4.4 Kitosan Kitosan tidak larut dalam air, tetapi larut dalam asam lemah encer (misalnya, asam asetat 1% [v/v]). Kitosan memiliki struktur yang mirip dengan selulosa, tetapi gugus hidroksil pada C-2 diganti dengan gugus amino. Senyawa ini dapat diperoleh dari kulit udang dengan cara mendestilasi kitinnya (Timmy et al.,2002) melaporkan kemampuan enkapsulasi sistem penyalutan ganda alginat-kitosan lebih baik bila dibandingkan dengan gelatin. Enkapsulasi ibuprofen dengan penyalut alginat-kitosan menghasilkan kapsul dengan diameter antara 1 dan 2 mm. Enkapsulasi tersebut memiliki nilai efisiensi >86% lebih tinggi jika dibandingkan dengan penyalut gelatin nilai efesiensi 6,67% yang telah dilakukan oleh peneliti lainnya. Konsentrasi kitosan menaikkan massa kapsul akan tetapi, jumlah ibuprofen dan konsentrasi kitosan tidak berpengaruh terhadap efesiensi enkapsulasinya melainkan faktor waktu penyimpanan larutan alginat yang digunakan untuk pembuatan kapsul. 2.4.3 Tepung Jagung Jagung mempunyai nilai gizi yang relatif cukup baik, mengandung protein 10%, lipid 4,4 % dan kandungan pati sekitar 72%. Kandungan asam amino lisin, triptopan, dan isoleusin. Komposisi tepung jagung terdiri dari: kalori (355 kal); karbohidrat (73,7 g); protein (9,2 g); lemak (3,9 g); kalsium (7 mg); fosfor (256 mg); besi (2,4 mg); kalium (287 mg); natrium (35 mg); magnesium (127 mg); vitamin A (510 SI); vitamin B1 (0,38 mg) dan air (12 g) (Mudjisihono & Munarsono, 1993).
Sulistiani (2009) melaporkan viabilitas spora Bacillus subtilis dalam berbagai formulasi dipengaruhi oleh jenis formulasi dan lama penyimpanan. Pengaruh jenis formulasi spora B. subtilis menunjukkan hasil yang berbeda untuk setiap formulasi yang digunakan. Formulasi tepung jagung memiliki nilai 6,92 cfu/g dalam mendukung ketahanan hidup spora B. subtilis selama penyimpanan. Hal ini disebabkan karena tepung jagung memilliki kandungan pati, gula, dan kadar air yang cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bakteri. Namun tidak sebaik formulasi campuran antara tepung jagung, tepung udang, zeolit dan dedak memiliki nilai tertinggi 7,77 cfu/g. Hal ini disebabkan adanya tepung udang yang berasal dari cangkang udang memiliki kandungan protein yang cukup tinggi untuk mendukung viabilitas spora B. subtilis selama penyimpanan.


Sumber : http://repository.usu.ac.id/





Geobacillus stearothermophilus (formally Bacillus stearothermophilus) is a rod-shaped, Gram-positive bacterium and a member of the division Firmicutes. The bacteria is a thermophile and is widely distributed in soil, hot springs, ocean sediment, and is a cause of spoilage in food products. It will grow within a temperature range of 30-75 degrees Celsius. Some strains are capable of oxidizing carbon monoxide aerobically. It is commonly used as a challenge organism for sterilization validation studies and periodic check of sterilization cycles. The biological indicator contains spores of the organism on filter paper inside a vial. After sterilizing, the cap is closed, an ampule of growth medium inside of the vial is crushed and the whole vial is incubated. A color and/or turbidity change indicates the results of the sterilization process; no change indicates that the sterilization conditions were achieved, otherwise the growth of the spores indicates that the sterilization process has not been met.
Biological indicators are used in conjunction with chemical indicators and process indicators to validate sterilization processes.
It was first described in 1920 as Bacillus stearothermophilus,[3] but, together with Bacillus thermoglucosidasius, it was reclassified as a member of the genus Geobacillus in 2001.[4]

Polymerase

Recently, a DNA polymerase derived from these bacteria, Bst polymerase, has become important in molecular biology applications.
Bst polymerase has a helicase-like activity, making it able to unwind DNA strands. Its optimum functional temperature is between 60 and 65°C and it is denatured at temperatures above 70°C. These features make it useful in loop-mediated isothermal ampliflizication (LAMP).[5] LAMP is similar to the polymerase chain reaction (PCR) but does not require the high temperature (96°C) step required to denature DNA.

sumber: wikipedia.org/wiki

Minggu, 15 Februari 2015





Produk minuman nata de coca adalah salah satu produk bioteknologi yang merupakan hasil fermentasi air kelapa dengan menggunakan bakteri Acetobacter xylinum. Nata yang merupakan selolusa hasil fermentasi tersebut berupa kenyal, berwarna putih, berserat tinggi selanjutnya diolah dengan ditambahkan sirup aneka rasa menjadi produk siap saji yang banyak diminati oleh konsumen. Produk minuman sirup nata de coco banya dipasarkan di toko-toko, warung, supermarket. selain untuk memenuhi permintaan konsumen dalam negeri, sirup nata de coco juga telah banyak di ekspor ke negara lain seperti Jepang, Arab, Eropa dan lain-lain. Saat ini, di pasaran domestik beredar berbagai macam jenis merk produk minuman sirup nata de coco baik produsen besar atau home industri dengan berbagai aneka rasa buah. produk sirup nata de coco memiliki pangsa yang cukup besar. permintaan biasanya pada musim panas, atau pada saat Hari Raya Lebaran. Sedangkan pada musim penghujan permintaan menurun.Untuk membuat minuman sirup nata de coco juga dapat dikerjakan dengan investasi yang rendah atau skala home industri. Harganya pun variatif tergantung cita rasa dan kreatifitas produk nya. Oleh karena itu, bisnis minuman sirup nata de coco masih sangat potensial untuk dijalankan baik oleh industri besar atau kecil. Teknik produksinya pun relatif mudah, alat yang dibutuhkan juga relatif sederhana.
Untuk menghasilkan produk minuman sirup nata de coco siap saji dan siap dipasarkan,  maka nata yang telah menjadi potongan-potong, diproses lebih lanjut dengan menambahkan bahan-bahan lain seperti gula, air, garam, dan food additives. Gula yang digunakan adalah sukrosa yang berasal dari tebu atau bit gula berfungsi sebagai pemanis, pengawet, penambah flavour dan memperbaiki tekstur. Gula memiliki efek menurunkan Aw (water activity) bahan makanan, sehingga mampu menghambat pertumbuhan mikrobia. Gula juga menyebabkan tekanan osmosa larutan sehingga dapat menyebabkan terjadinya plasmolisa dari sel-sel mikrobia. Dengan terjadinya plasmolisa, air keluar dari sel-sel mikroba, sehingga sel mikrobia akan mengering dan akhirnya akan mati. Untuk membuat nata dalam sirup, pilihlah gula pasir yang berkualitas baik, yaitu warna putih dan tidak tercemar kotoran. Gula yang kotor akan mengakibatkan nata berwarna kusam dan tidak transparan. Konsentrasi kemanisan gula perlu diperhatikan, tingkat kemanisan seberapa disukai konsumen.
Untuk meningkatkan daya simpan produk nata de coco kemasan, maka perlu ditambahkan bahan tambahan sebagai pengawet (Food additives). Bahan pengawet yang biasa digunakan adalah Natrium benzoat (C6H5COONa) berbentuk bubuk putih atau granular. Penggunaan Na-benzoat sebanyak 0.05 - 0.1 % sudah cukup efektif untuk menghambat pertumbuhan khamir dan bakteri.
Penambahan cita rasa /essence pada minuman nata de coco adalah untuk membuat produk lebih menarik dan dapat memberikan cita rasa khas seperti cita rasa pangan aslinya. Essence yang sering digunakan dalam memberikan cita rasa sirup nata de coco antara lain rasa coco jambu, pandan, leci, jeruk dan lain-lain.  Penggunaan cita rasa tiruan tergantung keperluan. Formula untuk membuat sirup nata de coco dalam kemasan tergantung kualitas produk dan pangsa pasar.
Kemasan berfungsi untuk melindungi produk, memberikan nilai estetik dan daya tarik. Karena itu design kemasan memiliki pengaruh yang besar terhadap kesuksesan penjualan di pasar. Kemasan dapat dibedakan berdasarkan jenisnya yaitu kemasan primer dan kemasan sekunder. Kemasan primer yaitu bila kemasan kontak langsung dengan bahan yang dikemas, sedangkan kemasan skunder yaitu kemasan yang fungsi utamanya  memberikan perlindungan terhadap kelompok unit kemasan, misalnya kotak karton sebagai kemasan luar. Kemasan primer biasa digunakan dalam pengemasan nata adalah cup plastik kapasitas 220 ml berbentuk gelas dengan berbagai model dan ketebalan. Kemasan cup plastik harus transparan bersih dari kotoran dan noda yang menempel, tidak cacat atau bocor.
Pengisian larutan sirup nata ke dalam kemasan harus dilakukan dengan segera setelah perebusan, minimal pada suhu 80˚C. Jika larutan dimasukan dalam kondisi suhu rendah akan memungkinkan produk mudah cepat rusak disebabkan terkontaminasi bakteri atau jamur yang berkembang pada produk kemasan minuman sirup nata. Pengisian larutan ke dalam kemasan cup dapat dilakukan dengan tangan atau menggunakan mesin. Cup diisi sesuai dengan berat yang telah ditentukan dapat dengan menggunakan alat penimbang. Ketepatan berat merupakan faktor ekonomis karena dapat mengurangi jumlah produk yang terbawa serta.
            Setelah larutan sirup nata dimasukan, maka proses penutupan cup plastik dengan lembaran plastik khusus harus segera dilakukan dengan menggunakan cup sealer. Plastik penutup dikatakan baik jika tidak berkerut, kencang, pinggiran tutup cup rapi dan diberi lidah, tutup cup rapat dan tidak bocor, tidak menggembung, dan tidak lengket karena gula. Produk cup sirup nata kemudian dikemas dengan menggunakan kertas karton.







Oleh: Kiki Haetami, SPt., MP., Dr. Ir. Abun, MP. dan Yuniar Mulyani, SP., MSi.

Pertumbuhan Ikan Nila Merah sangat bergantung dari kualitas ransum dan sistem saluran pencernaan. Ikan Nila Merah termasuk ikan omnivora dengan organ pencernaan yang lengkap sebagai tempat hidupnya ekosistem a biotik dan biotik berupa mikroflora yang hidup di sekelilingnya. Kinerja mikroflora dapat ditingkatkan melalui penambahan mikroflora eksogen sebagai imbuhan pakan (feed suplement) untuk membantu meningkatkan daya cerna dan efisiensi pakan. Hal tersebut perlu dipertimbangkan, karena probiotik menghasilkan komposisi zat makanan yang lebih sederhana (asam amino, asam lemak, gula-gula sederhana, vitamin dan mineral organik). Probiotik yang akan diujikan terdiri dari bakteri (Bacillus licheniformis), kapang (Aspergillus niger), dan ragi/yeast (Saccharomyces cerevisiae), serta campurannya. Untuk mendapatkan produk imbuhan pakan yang berkualitas, dilakukan optimasi terhadap kondisi bioproses probiotik (suhu bioproses, dosis inokulum, dan waktu bioproses). Selanjutnya untuk melihat kualitas dan nilai manfaat produk imbuhan pakan, dilakukan pengukuran terhadap nilai kecernaannya.
Penelitian telah dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Unpad dan Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas, Non Ruminansia dan Industri Makanan Ternak, Universitas Padjadjaran, Jatinangor-Sumedang selama delapan bulan, yaitu dari Bulan April sampai dengan November 2008. Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh tahapan kondisi dari masing-masing proses (suhu proses, dosis mikroba, waktu) pada pembuatan probiotik BAS. Produk probiotik dijadikan feed suplement dalam pakan ikan nila merah. Untuk melihat nilai manfaat, feed suplement ditambahkan ke dalam pakan, dan diukur nilai kecernaannya. Percobaan dilakukan secara eksperimen di laboratorium dalam dua tahap. Tahap pertama, menggunakan rancangan tersarang (3X3) yang diulang 3 kali. Tahap kedua menggunakan rancangan acak lengkap, terdiri atas 8 perlakuan ransum dan diulang 4 kali. Peubah yang diamati pada tahap pertama: kandungan protein, serat kasar, lemak kasar, kalsium dan fosfor produk probiotik BAS; tahap kedua: kecernaan bahan kering dan protein. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam dan perbedaan antar perlakuan diuji dengan uji jarak berganda Duncan. Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian dan pembahasan adalah: Kondisi bioproses terbaik pada Studi pembuatan Probiotik BAS untuk Bacillus licheniformis pada dosis 2% dengan suhu 45 0C, dan lama fermentasi 2 hari , sedangkan Aspergillus niger pada dosis 2% dengan suhu 35 0C, dan lama fermentasi 2 hari, dan Saccharomyces cerevisiae pada dosis 2% dengan suhu 35 0C, dan lama fermentasi 2 hari; karena menghasilkan kandungan gizi (protein, serat, lemak dan mineral) produk terbaik. Produk Probiotik BAS dijadikan sebagai feed suplement dalam pakan ikan. Penggunaan feed suplement campuran ketiga jenis mikroba tersebut pada tingkat 4,5% dalam ransum, menghasilkan nilai kecernaan yang terbaik pada ikan. Nilai kecernaan bahan kering, dan protein kasar Probiotik BAS, berturut-turut sebesar 76,07%, dan 75,28%.


Unordered List

Sample Text

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Social Icons

Sample Text

Followers

Featured Posts

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget